Ramadhan dan negeri surya di Khatulistiwa ini, punya hubungan mesra nan harmonis. Betapa tidak, Indonesia dimerdekakan para pendiri bangsa pada Jumat pagi, 17 Agustus 1945 (9 Ramadhan 1364 H). Berita langit itu diterima Bung Karno dalam kesadarannya selama merenung bermalam-malam–sepulang dari masa pembuangan terakhir di Sumatera. Bisa dengan mudah kita bayangkan betapa suasana berpuasa sebulan penuh yang dipungkasi lebaran semasa itu, masih dalam gegap gempita kemerdekaan yang tak terperikan.
Lebaran bagi para pejuang Republik adalah merdeka. Kelak, Bung Karno menakwil ikhwal ini dengan merdeka secara politik, ekonomi, dan kebudayaan. Ranah ketiga itulah yang akan kami soroti dalam tulisan kali ini. Sudah tak terkira banyaknya kajian terkait bagaimana Bung Karno memajukan kebudayaan Nusantara dalam kancah global. Selain bergaul rapat dengan para seniman kampiun, ia juga dikenal sebagai presiden pengoleksi lukisan terbanyak sedunia dengan jumlah 2800 buah. Selain itu, ia juga mahir melukis. Bakat yang sudah dimilikinya sejak masih menimba ilmu di Sekolah Rakyat. Pelukis Dullah yang menjadi saksi kelihaian Sang Proklamator kala menyapu kanvas dengan kuas warnanya. Baca juga: Jejak Tasawuf dalam Kepemimpinan Bung Karno Mengupas sisik melik Sukarno dan gerakan kebudayaannya, akan menghabiskan begitu banyak halaman.
Kerana itulah, kami memilih untuk memilahnya dari pelacakan asal muasal spirit kebudayaan itu, dalam diri Sukarno. Mari sejenak kita kembali ke era di mana ia kemudian beroleh nama kebesarannya: Bung Karno. Babak ini dimulai dari periode Ende (1934-1938). Sebagai interniran, menyusul rekan seangkatannya yang sudah lebih dulu dibuang penjajah Belanda ke Digul dan Banda Neira, Sukarno muda sedang berhadapan dengan mentalnya sendiri yang meredup.
Kobaran semangatnya yang menyala-nyala selama mukim di Bandung, kini di ambang padam. Hanya Inggit Garnasih, Ratna Juami & Riwuga (anak-anak angkatnya), serta Ketuk 1 & 2 (anjing peliharaan mereka), yang setia menghibur singa podium ini selama mendiami rumah milik Haji Abdullah Amburawu, yang berlokasi di Kampung Ambugaga, Kelurahan Kotaraja. Namun entah bagaimana juntrungannya, manakala Sukarno menapaki usia ke-33, ia menemukan ide tuk mengumpulkan penduduk Ende di sekitaran kediaman mereka, pada suatu hari—lantas kemudian dilatih bersandiwara. Lema sandiwara lazim dipakai para pejuang kita karena mengandung konotasi penyampai pesan rahasia: sandi-wara. Ia menamai grupnya ini; Tonil Kelimutu. Terinspirasi dari danau tiga warna di bumi Flores sana. Nun sezaman dengan Sukarno menjalani masa pengasingannya, memang sudah ada genre sejenis yang bisa disebut sebagai cikal-bakal teater modern di Indonesia.
Sejarahwan seni mencatat geliat itu sedari komedi stambul (diadopsi dari gaya panggung orang Turki di Istambul), anak wayang, dan tonil Melayu, yang gegap gempita di atas panggung kesenian Hindia Belanda. Mis Ja, Tan Ceng Bok, Nyoo Cheong Seng, Tio Tek Jin, A Piedro, adalah sederet nama beken yang turut mengibarkan kemeriahan itu. Lantas apa yang kemudian membuat Sukarno muda berbeda dengan para seniman panggung di atas? Pertama, ia tak pernah tergabung dengan kelompok sandiwara mana pun, termasuk ketika bersekolah pun di bangku universitas. Kedua, ia memadukan unsur teater rakyat Nusantara ke dalam gaya pemanggungannya, yang tentu ia dapatkan dari pengalaman menonton wayang dan pertunjukkan tradisional lain.
Ketiga, Sukarno menggunakan tonilnya sebagai wahana perjuangan menentang kolonialisme. Hal itu ia buktikan dari belasan naskah yang ditulis sendiri—terutama yang berjudul “1945”. Semacam nubuat bagi kemerdekaan Indonesia melalui amatan kancah peperangan di Pasifik. Naskah itu lahir di Ende bersama Dokter Setan, Rendo, Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Nggera Ende, Amuk, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba. Adapun naskah yang dikarang di Bengkulu dengan bedrijf (babak yang masih lengkap) adalah Dr. Syaitan, Chungking Jakarta (poros Peking-Jakarta yang kemudian sungguh benar ia jalankan setelah menjadi presiden pertama Republik Indonesia), Kutkutbi, Rainbow (Putri Kencana Boelan), Hantu Gunung Bungkuk, serta Si Kecil (Kleinduimpje). Dua naskah terakhir ini berhasil direkaulang melalui beberapa narasumber lokal. Keempat, bersama Inggit, ia membesarkan Tonil Kelimutu & Monte Carlo (semasa dibuang ke Bengkulu—1938-1942), dengan manajemen profesional. Sukarno laik ditahbis sebagai seniman murni karena, ia menulis naskah, menyutradarai, menjadi aktor, menata musik, merancang kostum, mendekorasi panggung, membuat baliho, dan menjual karcis.
Pola seperti ini, baru bisa diulang Teater Koma bentukan Nano Riantiarno—nyaris seabad kemudian. Kelima, seluruh naskah yang ditulis Sukarno hanya berupa plot belaka, tanpa dialog. Khusus bagian itu, ia mendiktekan langsung kepada para pemain, yang sebagian besarnya berprofesi petani, nelayan, peternak, pedagang, dan segelintir kalangan terdidik secara modern.
Proses transfer pengetahuan estetika panggung itu dilakukan Sukarno dengan menggunakan bahasa lokal, sebelum kemudian menjadi bahasa Melayu ketika di atas pentas. Bisa kita bayangkan betapa luar biasanya kerja kebudayaan Sukarno kala itu. Uniknya lagi, Sukarno berhasil memberi pemahaman kepada para awak tonilnya, bahwa yang sedang mereka lakukan adalah perjuangan menuju kemerdekaan dengan pendekatan kebudayaan. Ya, sandiwara/teater sebagai induk kesenian, dimanfaatkan Sukarno dengan segenap jiwa-raganya, demi mencapai naar de Republik. Namun apa mau dikata, kita tak punya dokumentasi yang cukup untuk kedua tonil yang dikembangkan Sukarno itu, kecuali sekadar memorabilia dari perlengkapan pentas yang masih terawat dengan baik. Menarik juga membayangkan Sukarno memerankan tokoh perempuan rekaannya, dengan dada disumpal bakpao, sebagaimana ia kisahkan dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams. Keenam, reputasi Sukarno itu, sudah jauh melampaui pencapaian Umar Kayam, Asrul Sani, atau Rendra dengan Bengkel Teaternya. Jika bukan karena kejeniusannya sebagai Manusia Indonesia Pertama, Tonil Kelimutu & Monte Carlo takkan secerlang itu pada masanya. Jadi apa yang kemudian dikerjakan para teaterawan Indonesia pascakemerdekaan, lebih bersifat melanjutkan-melengkapi apa yang telah lebih dulu diawali Sukarno.
Sejak meninggalkan Bengkulu dengan panggilan anyar, Bung Karno—karena begitulah cara kaum Adam di sana bertukar sapa, ia tak lagi sempat melanjutkan kiprah teaternya. Jepang yang berhasil menendang Belanda, sudah cukup menguras energinya mengurusi Ibu Pertiwi yang sedang hamil tua. Jabang bayi Republik sudah tinggal membrojol ke alam kemerdekaan. Ketujuh, Sukarno yang memang berjiwa seni dengan cita rasa tinggi, jadi satusatunya pemimpin dunia yang memakai jalur kebudayaan selaku senjata melawan tirani. Ia politisi yang negarawan cum teknokrat. Sipil yang kemudian jadi panglima tertinggi militer. Kedekatannya dengan rakyat serta elemen pendukungnya, membuktikan spirit kebudayaan yang sudah sekian lama tumbuh subur dalam dirinya. Sayang seribu sayang, hingga hari ini belum banyak pelaku seni, produser, pun maesenas pertunjukkan yang berminat mengadaptasi lakon-lakon yang pernah dipagelarkan Bung Karno tersebut. Maka melalui risalah sederhana ini, kami mengusulkan kepada Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU, agar mendorong Presiden Joko Widodo mengangkat Sang Proklamator sebagai Bapak Teater Indonesia. Kenapa Lesbumi? Lantaran badan ini merupakan bagian penting Nahdlatul Ulama, yang juga sangat ditakzimi Bung Karno semasa perjuangannya sampai menjabat presiden, dan sepanjang sisa hayatnya. Mugiya niatan baik kami ini beroleh sambutan hangat dari segenap rakyat Indonesia tercinta. Rahayu… Selamat berlebaran dengan jiwa nan merdeka. Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/128671/sukarno-bapak-teater-indonesia